Butir-butir dalam Falsafah Bugis : Getteng, Lempu, Ada Tongeng

Manusia sebagai makhluk Tuhan yang paling mulia, manusia dibekali secara utuh alat-alat indera, akal, dan hati yang dapat digunakannya untuk memahami hakikat keberadaannya.

Alat-alat epistemologis itu mempunyai peranan penting bagi manusia untuk mengembangkan diri dalam mewujudkan potensi cipta, rasa, dan karsa yang ada pada diri manusia itu sendiri.

Berbekal indera, akal, dan hati itu secara aktual manusia telah membuktikan keberadaannya. Berbagai progresivitas hidup yang telah terbangun dan terpelihara sejak ribuan tahun yang silam.

Manusia wajib bersyukur, di mana untuk saling mengenal antara satu dengan yang lainnya, Tuhan menciptakannya berbagai rupa, kelamin, suku dan ras. Bayangkan, andai kata misalnya semua sejenis, habislah kita semua.

Demikian pula manusia sebagai makhluk berkebudayaan, di mana budaya dalam setiap masyarakat tentunya berbeda-beda, karena kebudayaan lahir dari hasil pikiran manusia yang beraneka ragam dan tersebar ke seluruh pelosok semesta.

Di semenanjung Sulawesi Selatan dikenal terdapat beragam kebudayaan dari yang paling primitif hingga yang paling modern. Di Jazirah ini didiami empat suku bangsa, yakni: Bugis, Makassar, Toraja, dan Mandar. Meskipun terdapat empat suku berbeda akan tetapi masih mempunyai ikatan kultural yang masih kuat antara suku yang satu dengan lainnya.

walaupun masih ada ikatan kultural tetapi masing-masing suku mempunyai adat kebiasaan masing-masing yang terbangun dan terpelihara sejak dahulu kala. Untuk membedakan jatidirinya, mereka membangun sebuah peradaban kehidupan yang menjadi tolok ukur dan anutan bagi generasi selanjutnya.

Para tetuah masing-masing suku menurunkan tatanan dan berbagai falsafah yang kelak menjadi pegangan hidup bagi anak cucunya dalam melakoni berbagai tantangan hidup kini dan ke depannya.

Seperti halnya suku Bugis yang sebagian besar mendiami Sulawesi Selatan mempunyai banyak falsafah yang terangkum dalam PASENG DAN PANGAJA. Dalam paseng dan pangaja tersebut memuat rangkaian petuah dan nasihat yang mengutarakan tentang norma-norma adab baik yang menyangkut hubungan sosial, pemerintahan, ekonomi, politik, pemerintahan maupun semangat dalam menantang pergolakan hidup itu sendiri.

Bangsa Bugis dikenal sebagai penganut adat-istiadat yang kental dan kuat. Salah satu falsafah Bugis yang kesohor dan masih dianut sampai saat ini, yaitu GETTENG, LEMPU, ADA TONGENG. Falsafah atau pandangan hidup tersebut merupakan sikap batin paling mendasar yang dimiliki oleh orang Bugis.

Dalam tulisan ini, akan dijelaskan secara detail mengenai pengertian serta butir-butir yang dikandung dari kata getteng, lempu, dan ada tongeng. Butir-butir ini saling menguatkan, mendukung serta mempunyai keterkaitan dengan yang lainnya

1. GETTENG

Getteng adalah sebagai sesuatu yang tegas dan konsisten,yaitu tindakan yang tidak samar-samar dan bimbang. Hal ini dimaknai sebagai sikap yang berani dan percaya diri, mengungkapkan apa yang benar dan apa yang salah. Secara jelas, nyata dan meyakinkan apa yang diinginkan dan apa yang tidak diinginan. Jika salah dikatakan salah, jika benar dikatakan benar tanpa memandang kondisi atau kepada siapa hal tersebut diutarakan.

Getteng menyatakan ketegasan, meskipun anak atau keluarga sendiri, yang benar tetap benar dan yang salah tetap salah. Karena itu, seseorang yang tegas tidak takut menyatakan apa menurutnya benar meskipun bertentangan dengan atasannya.

Getteng tidak berarti galak, kasar, pemarah, dan arogan. Ada seseorang yang galak dan pemarah namun sama sekali tidak tegas. Oleh karena itu, Getteng menunjukkan sikap kejujuran,tidak berbelit-belit, lugas, serta bertanggung jawab.

Getteng, tegas dalam mengambil keputusan, teguh pendirian, tabah, dan tahan terhadap godaan. Getteng ditunjang dengan Asitinajang (asas kewajaran), yakni arif, bijaksana, dan adil dalam bertindak.

Adapun butir-butir yang dikandung dalam Getteng, yaitu :
1. Mempunyai pendirian yang kukuh, tidak goyah dengan situasi
2. Memiliki sifat jujur tidak plin-plan
3. Memegang teguh prinsip, jika salah tetap salah, jika benar tetap benar
4. Mempertanggungjawabkan apa yang dikatakan
5. Mempertanggungjawabkan apa yang telah diperbuat
6. Tidak bertindak arogan dan semaunya
7. Tidak terbebani atas penolakan orang lain
8. Tidak mudah terseret dengan pengaruh
9. Tahan terhadap godaan, anti korupsi

2. LEMPU

Lempu adalah sesuatu prilaku yang lurus, dalam artian mengakui, berkata, atau pun memberi suatu informasi yang sesuai kenyataan. Lempu lawan kata Belle-Pabbelleng atau bohong yang artinya berkata atau memberi informasi yang tidak sesuai dengan kebenaran.

Oleh karena itu, Lempu merupakan sikap seseorang ketika berhadapan dengan sesuatu atau pun fenomena tertentu dan menceritakan kejadian tersebut tanpa ada perubahan dan modifikasi sedikit pun atau benar-benar sesuai dengan realita yang terjadi.

Lempu, bersikap jujur, taat asas; Acca: pintar, cerdik, cendikia, dan kreatif; yang didukung oleh Reso, yakni usaha, ikhtiar dalam mencapai suatu tujuan. Sikap Lempu merupakan apa yang keluar dari dalam hati nurani setiap manusia dan bukan merupakan apa yang keluar dari hasil pemikiran yang melibatkan otak dan hawa nafsu belaka melainkan hasil proses ininnawa (renungan hati yang dalam).

Adapun butir-butir yang dikandung dalam Lempu, yaitu :

1. Lempu, sifat jujur yang penerapannya ada pada niat seorang manusia.
2 Lempu, sifat jujur yang penerapannya ada pada perkataan yang diucapkan oleh manusia.
3. Lempu, sifat jujur yang penerapannya ada pada aktivitas dan perbuatan manusia.
4. Lempu, sifat jujur yang penerapannya ada pada janji yang diucapkan oleh manusia.
5. Lembu, sifat jujur yang penerapannya ada pada kenyataan yang terjadi dalam hidup manusia.

3. ADA TONGENG

Ada tongeng, berhubungan dengan ucapan yaitu mengatakan yang benar, tidak bohong, tidak ada ucapan rekayasa. Seseorang tidak mungkin berprilaku jujur tanpa disertai ada tongeng. Demikian pula tidak mungkin bersifat tegas dan konsokuen (getteng) tanpa dibangun dengan Lempu dan Ada tongeng.

Adapun butir-butir yang dikandung dalam Ada tongeng, yaitu :

1. Ada tongeng berawal dari niat;
2. Ada tongeng bermula dari sadda’ (kata yang belum terucap);
3. Ada tongeng hasil renungan kalbu;
4. Ada tongeng ungkapan kata hati yang benar;
5. Ada tongeng bukan kata andai-andai;
6. Ada tongeng jaminan harga diri;
7. Ada tongeng jaminan untuk dipercayai;
8. Ada tongeng melambangkan kata dan; perbuatan;
9. Ada tongeng perwujudan manusia yang sesungguhnya.

Budaya modernitas sekarang ini telah banyak meluluhlantakkan kearifan lokal yang menjadi warisan nenek moyang , bukan hanya itu krisis kemanusiaan yang melanda dunia global adalah merupakan wujud nyata dari efek yang ditimbulkannya dan di setiap sektor kehidupan yang ada.

Oleh karena itu, di perlukan upaya dalam melakukan counter terhadap hegemoni kekuatan besar tersebut sehingga dapat mencegah problema kehidupan yang berkepanjangan, mulai dari lingkungan keluarga, sekolah, hingga masyarakat luas.

Ada beberapa nilai budaya lokal yang saling terkait dalam membentuk orang Bugis yang berdampak pada perilakunya. Nilai budaya lokal tersebut adalah SIRI NAPESSE’

SIRI bagi orang Bugis merupakan nilai individualitas yang berkaitan dengan harga diri, respek diri, dan rasa malu. Tidak ingin dipermalukan tanpa alasan yang jelas.

PESSE’ bagi orang Bugis merupakan nilai solidaritas, kebersamaan, yang memegang teguh prisip hidup getteng, lempu, dan ada tongeng yang mengikat tali kekerabatan dan persaudaraan dalam pergaulan.

Nilai budaya lokal tersebut berfungsi sebagai dinamisator terhadap keberhasilan bagi orang Bugis, memacu semangat mereka bersaing dalam melakukan kegiatan-kegiatan usaha yang memungkinkan mereka untuk berhasil.

Sayangnya, dalam kenyataan hidup masyarakat Bugis itu sendiri tampaknya nilai‑nilai yang tercecer ini, terabaikan, terlupakan, tidak menjadi hal yang berharga lagi dalam kelajuan pembangunan. Hal yang tampak besar bergeser di dalam kehidupan kita, seperti etos kerja, nilai sopan santun dan sipakatau. Proses dinamisasi nilai-nilai inilah yang kemudian hilang bak ditelan ombak Teluk Bone.

Andai, jika dalam kehidupan bernegara ini nilai-nilai kearifan lokal tesebut di atas dijalankan dan senantiasa diamalkan serta tetap dipertahankan, maka kehidupan ini terasa indah, nyaman, damai, tertib, harmonis, tidak saling melapor, tidak saling menghujat wahae Indonesiaku …

Penulis : Mursalim (Teluk Bone)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *