Alhamdulillah, Songkok To Bone Warisan Budaya Tak Benda Indonesia

Masyarakat Bone boleh berbangga, betapa tidak, Songkok To Bone dari Kabupaten Bone resmi menjadi warisan budaya tak benda Indonesia. Penetapan itu dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI Malam Apresiasi Penetapan Warisan Budaya TakBenda Indonesia Tahun 2018 di Gedung Kesenian Jakarta, 11 Oktober 2018.

Hal tersebut merupakan tindak lanjut dari keikutsertaan Indonesia yang telah menandatangani konvensi UNESCO.

Kepala Dinas Kebudayaan Kabupaten Bone, Andi Promal Pawi mengungkapkan, warisan-warisan budaya tak benda itu mendapat sertifikat langsung dari Kemedikbud RI.

” Alhamdulillah Songkok To Bone ditetapkan menjadi Warisan Budaya Tak Benda Indonesia “

Sebelumnya, Kabupaten Bone mengusulkan tiga warisan budaya tak benda, yakni Songkok Recca, Sirawu Sulo, dan Mattompang Arajang.

Namun Songkok To Bone yang baru diakui sebagai warisan budaya tak benda Indonesia.

Songkok To Bone tergolong sebagai ranah karya budaya kemahiran kerajinan tradisional masyarakat Bone.

Hadirnya sertifikat dari Kemendikbud RI, Songkok To Bone semakin menguatkan posisinya sebagai cipta karya dan budaya asli dari Bumi Arung Palakka.

Selain Bone, beberapa kabupaten lain juga menyumbang warisan budaya takbenda Indonesia. Salah satunya kapurung kuliner khas Luwu Utara.

APA ITU WARISAN BUDAYA TAKBENDA?

Warisan budaya adalah keseluruhan peninggalan kebudayaan yang memiliki nilai penting sejarah, ilmu pengetahuan dan teknologi, dan/atau seni.

Warisan budaya dimiliki bersama oleh suatu komunitas atau masyarakat dan mengalami perkembangan dari generasi ke generasi, dalam alur suatu tradisi.

Sedang Warisan budaya Takbenda atau Intangible Cultural Heritage bersifat tak dapat dipegang (intangible/ abstrak), seperti konsep dan teknologi, dan sifatnya dapat berlalu dan hilang dalam waktu seiring perkembangan zaman seperti misalnya bahasa, musik, tari, upacara, serta berbagai perilaku terstruktur lain.

Warisan Budaya Takbenda berdasarkan UNESCO Convention For The Safeguarding Of The Intangible Cultural Heritage 2003, yaitu :

” Warisan Budaya Takbenda adalah berbagai praktik, representasi, ekspresi, pengetahuan, keterampilan, serta instrumen, obyek, artefak dan ruang-ruang budaya terkait dengannya “.

Selanjutnya, bahwa masyarakat, kelompok dan, dalam beberapa kasus, perorangan merupakan bagian dari warisan budaya tersebut.

Warisan budaya takbenda ini diwariskan dari generasi ke generasi, yang secara terus menerus diciptakan kembali oleh masyarakat dan kelompok dalam menanggapi lingkungan sekitarnya.

Interaksi mereka dengan alam dan sejarah mereka, dan memberikan rasa identitas yang berkelanjutan, untuk menghargai perbedaan budaya dan kreativitas manusia.

APA YANG TERMASUK DALAM WARISAN BUDAYA TAKBENDA?

Warisa Budaya Takbenda diwujudkan di bidang-bidang antara lain:

1. Tradisi dan Ekspresi Lisan, termasuk bahasa sebagai wahana warisan budaya takbenda. Seni pertunjukan, Adat istiadat masyarakat adat, ritus, dan perayaan-perayaan.
2. Pengetahuan dan kebiasaan perilaku mengenai alam semesta, Kemahiran tradisional.
3. Tradisi dan Ekspresi Lisan misalnya bahasa, naskah ukno, permainan tradisional, pantun, cerita rakyat, mantra, doa, nyanyian rakyat dan lain-lain.
4. Seni pertunjukan misalnya seni tari, seni suara, seni musik, seni teater, film dan lian-lain.
5. Adat istiadat masyarakat adat, ritus, dan perayaan-perayaan misalnya upacara tradisional (upacara daur hidup), sistem organisasi sosial, sister ekonomi tradisional dan lain-lain.
6. Pengetahuan dan kebiasaan perilaku mengenai alam semesta misalnya pengetahuan tradisional, kearifan local, pengebatan tradisional dan lain-lain.
7. Kemahiran dan keterampilan tradisional misalnya teknologi tradisional, arsitektur tradisional, pakaian tradisional, aksesoris tradisional, kerajinan tradisional, kuliner tradisional, media transportasi tradisional, senjata tradisional dan lai-lain.

SEJARAH PANJANG SONGKOK TO BONE

Songkok Recca biasa juga disebut Songkok Pamiring sering pula disebut Songko’ To Bone. Mana yang benar dari ketiga nama tersebut ?

Semuanya benar namun penyebutan ketiga nama tersebut masing-masing mempunyai  kisah dan rentang waktu yang berbeda.

Awalnya dinamakan Songkok Recca ketika Raja Bone Ke-15 Arung Palakka menyerang Tanah Toraja (Tator) tahun 1683  hanya berhasil menduduki beberapa desa di wilayah Makale-Rantepao. Laskar Tanah Toraja melakukan perlawanan sengit terhadap pasukan Arung Palakka. Pada periode ini songkok tersebut disebut Songko’ Recca

Salah satu ciri khas laskar kerajaan Bone pada masa lalu memakai sarung yang diikatkan di pinggang (Mabbida atau Mappangare’ Lipa’). Laskar Tator juga mempunyai kebiasaan memakai sarung tetapi diselempang (Massuleppang Lipa) sehingga bila terjadi pertempuran dimalam hari kedua pasukan sulit dibedakan yang mana lawan dan kawan, dikira lawan padahal kawan karena baik laskar Tator maupun Bone masing-masing memakai sarung. Untuk menyiasati keadaan seperti itu, Arung Palakka mencari strategi dengan memerintahkan para prajuritnya memasang tanda di kepala sebagai pembeda dengan memakai songkok recca’.

Tahun 1905 Tentara Belanda menyerang Bone, pada masa itu Bone dipimpin oleh Lapawawoi Karaeng Sigeri. Belanda berhasil menawan Lapawawoi sehingga di Bone terjadi kekosongan pemerintahan namun Ade Pitue tetap berfungsi akan tetapi tetap di bawah kendali Belanda. Jadi Bone mengalami kekosongan pemerintahan selama 26 tahun antara 1905-1931.

Selanjutnya untuk mengisi kekosongan pemerintahan di Bone maka Belanda mengangkat Lamappanyukki sebagai Raja Bone Ke-32 pada tahun 1931 dengan persetujuan Ade’ Pitu.

La Mappanyukki adalah orang Gowa (Ayah dari Gowa Ibu dari Bone) pada masa pemerintahan Raja Bone Ke-32 La Mappanyukki tahun 1931 songko recca’ menjadi  semacam kopiah resmi atau songkok kebesaran bagi raja, bangsawan, dan para ponggawa-pongawa kerajaan.

Untuk membedakan tingkat kederajatan di antara mereka, maka songko’ recca dibuat dengan pinggiran emas (pamiring pulaweng) yang menunjukkan strata pemakainya.

Pada masa ini tidak sembarang orang yang bisa memakai songko pamiring kecuali anggota kerajaan dan adat tujut. Pada periode ini songko tersebut disebut Songko’ Pamiring.

Ketika Songko’ Recca menjadi kopiah resmi kerajaan Bone La Mappanyukki mengatakan hanya dua kerajaan yang bisa memakai Songko Pamiring yaitu Mangkau ri Bone Majjajareng dan Sombayya Ri Gowa

(Hanya Sombayya ri Gowa dan Petta Mangkaue di Bone serta raja yang sederajat berhak memakai lingkar emas yang tertinggi ).

Dari sinilah berawal Songkok Pamiring ada di Gowa yang disebut Songkok Guru kemudian berkembang ke daerah sekitarnya sampai Takalar.

Songkok Recca yang bercorak lapisan emas itu disebut juga Songkok Pamiring. Pada masa kerajaan-kerajaan Bugis, benang emas yang melingkar pada Songkok Pamiring memiliki makna, yaitu makin tinggi lingkaran emasnya, pertanda semakin tinggi derajat kebangsawanan pemakainya, kira-kira hanya satu sentimeter tersisa tanpa balutan emas.

Pada waktu itu terdapat aturan yang berlaku bagi pemakai Songkok Pamiring, di mana  bangsawan tinggi atau yang berkedudukan sebagai raja dan juga bagi anak raja yang dianggap berdarah biru (Maddara Takku), anak Mattola, boleh menggunakan songkok pamiring yang seluruhnya terbuat dari emas murni.

Golongan yang disebut Arung Mattola Menre, Anak Arung Manrapi, Anak Arung Sipue dan Anakkarung boleh memakai Songkok Pamiring dengan lebar emas tiga-per-lima bagian dari tinggi songkoknya.

Golongan yang disebut Rajeng Matase, Rajeng Malebbi boleh memakai songkok pamiring dengan lebar emas setengah bagian dari tinggi songkoknya.

Golongan yang disebut Tau Deceng, Tau Maradeka dan Tau Sama diperkenankan memakai songkok recca dengan pinggiran emas.

Sedangkan golongan yang disebut Ata sama sekali tidak dibolehkan memakai songkok ini.

Pada tahun 1957 rakyat Kerajaan Bone menyatakan diri bergabung dengan NKRI, dua tahun kemudian terbitlah Undang-Undang Nomor 29 Tanggal 4 Juli Tahun 1959 Tentang Pembentukan Daerah Tingkat II di Sulawesi. Termasuk Pembentukan Kabupaten Bone.

Dengan berlakunya undang-undang tersebut berakhir pula sistem pemerintahan kerajaan di Bone.

Pada masa ini Songkok Pamiring siapapun bisa memakainya tidak memandang raja, bangsawan, orang kaya, dan lain-lainnya. Maka periode ini disebut Songkok To Bone.

Seiring dengan perkembangan masyarakat yang tidak lagi memandang adanya perbedaan kasta, aturan-aturan tersebut tidak berlaku lagi dan semua lapisan masyarakat boleh memakainya.

Namun songkok ini masih tetap istimewa karena menunjukkan karisma pemakainya. Keistimewaan itu akan tampak  jika songkok ini berada di atas kepala orang-orang atau tokoh penting dan terkenal, pejabat, keturunan bangsawan, orang-orang kaya, dan  semacamnya.

Selain mahal harganya, Songkok To Bone menjadi lebih istimewa jika benang keemasan yang menghias pinggiran songkok itu diganti dengan emas murni.

Terlebih jika susunan emas itu dilebur dan dibuat menyerupai benang yang hampir menutupi seluruh sisi songkok.

Songkok To Bone bukan lagi milik para raja atau kaum bangsawan, namun bagi mereka yang mengerti akan filosofinya, tidak akan sembarangan memakainya.

Selain menunjukkan kharisma pemakainya, songkok pamiring juga menunjukkan siapa sebenarnya orang yang memakainya.

Karena semakin “bagus” Songkok To Bone yang dipakai, diukur dengan hiasan emas yang menutupinya, maka akan menunjukkan tingkat prestasi pemakainya.

Dengan kata lain, Songkok To Bone sebagai penanda “siapa sebenarnya kita”.

Kemudian setelah masa kerajaan berakhir  songko’ recca atau songkok pamiring tersebut semua kalangan  bisa memakainya tanpa mengenal strata sehingga dinamakan Songkok To Bone artinya songkoknya seluruh orang Bone.

Karena itulah, Songkok To  Bone selain memang berasal dari Bone yang juga merupakan cipta, rasa, dan karsa orang Bone. Meskipun sekarang ini banyak Songkok To Bone diproduksi di luar daerah Bone.

Karena itu, tidaklah dipertentangkan songko’ reca atau songko’ pamiring atau songko To Bone sama saja hanya rentang masa yang membedakan.

Mengapa awalnya dinamakan Songkok Recca ? Sebab Songkok Recca’ terbuat dari serat pelepah daun lontar dengan cara dipukul-pukul (dalam bahasa Bugis : direcca-recca) pelepah daun lontar tersebut hingga yang tersisa hanya seratnya.

Serat ini biasanya berwarna putih, akan tetapi setelah dua atau tiga jam kemudian warnanya berubah menjadi kecoklat-coklatan. Serat-serat tersebut dalam bahasa Bugis Bone disebut “URE’ CA … “.

Untuk mengubah menjadi hitam maka serat tersebut direndam dalam lumpur selama beberapa hari.

Jadi serat yang berwarna hitam itu bukanlah karena sengaja diberi pewarna sehingga menjadi hitam.

Serat tersebut ada yang halus ada yang kasar, sehingga untuk membuat Songkok Recca yang halus maka serat haluslah yang diambil dan sebaliknya serat yang kasar menghasilkan hasil yang agak kasar pula tergantung pesanan.

Untuk menganyam serat menjadi songkok menggunakan acuan atau pola yang disebut “Assareng”.

Assareng ini terbuat dari kayu nangka kemudian dibentuk sedemikian rupa sehingga menyerupai songkok.

Acuan atau assareng itulah yang digunakan untuk merangkai serat hingga menjadi Songkok To Bone. Ukuran Assareng tergantung dari besar kecilnya songkok yang akan dibuat.

Di Kabupaten Bone, Songkok To Bone diproduksi di Desa Paccing Kecamatan Awangpone. Di daerah tersebut terdapat komunitas masyarakat secara turun temurun menafkahi keluarganya dari hasil prosesi mengayam pelepah daun lontar ini.

Songko To Bone adalah identitas orang Bone, identitas suku Bugis, identitas nasional, bahkan sudah menjadi identitas dunia.

Songkok To Bone yang kini menjadi warisan budaya nasional, tentu harapan kita semua, suatu masa nanti adanya kegiatan atau semacan festival Songkok To Bone yang bisa mendapat plakat MURI.

Tentu melalui festival itu nantinya, banyak peserta yang membeli Songkok To Bone yang ujung-ujungnya bernilai ekonomi yang dapat meningkatkan taraf hidup masyarakat khususnya para perajin Songkok To Bone. (Murs).

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *