Sejarah dan Makna Simbolik Mattompang Arajang

I. SEJARAH MATTOMPANG ARAJANG

Pada zaman dahulu Mappepaccing Arajang dilaksanakan oleh para Bissu atas restu sang raja atau Mangkau di dalam ruangan tempat penyimpanan Arajang tersebut.

Upacara adat Mattompang Arajang atau biasa juga disebut Masossoro Arajang rutin dilaksanakan setiap tahunnya bertepatan dengan hari jadi Bone.

Upacara adat sakral tersebut merupakan menyucikan benda-benda pusaka kerajaan Bone yang disebut Mappepaccing Arajang atau dalam istilah Pangadereng RILANGIRI dan secara khusus disebut MASSOSSORO ARAJANG (mattompang).

Yang dimaksud dengan arajang adalah benda atau sekumpulan benda yang sakral karena memiliki nilai magis dan pernah digunakan oleh para raja atau pembesar kerajaan. Benda-benda tersebut disimpan secara khusus dan sangat dihormati.

Mattaompang Arajang atau Massossoro Arajang Pertama kali dilaksanakan, yaitu setiap sang raja telah menggunakan pusaka-pusaka tersebut, maka sang raja menyuruh para pembantunya untuk membersihkan atau menyucikannya kembali. Dari situlah dilakukan secara turun temurun hingga sekarang ini.

Adapun benda-benda pusaka peninggalan kerajaan Bone yang disucikan atau dibersihkan pada saat prosesi mattompang arajang yaitu;

1. TEDDUNG PULAWENG (Payung emas)

Merupakan payung pusaka kerajaan Bone yang telah ada sejak zaman kejayaan raja Bone XV La Tenritatta Arung Palakka.

Pusaka ini merupakan suatu pusaka karajaan yang diterima oleh kerajaan Bone sebagai bentuk penghargaan dari kerajaan Pariaman yang merupakan wujud sikap persaudaraan antara kedua kerajaan.

Sesudah pemerintahan raja Bone ke-15, maka pusaka ini menjadi suatu alat perlengkapan resmi pengangkatan dan pelantikan raja-raja hingga ke masa raja terakhir.

Adapun susunan dan bentuk Teddung Pulaweng, yaitu :
-Tongkat payung mempunyai tinggi 18 ruas yang terbuat dari emas.
-Daun payung bermahkotakan emas, di kelilingi 11 anting emas.
-Meliputi 72 helai jari-jari yang di lengkapi dengan 71 buah anting-anting kecil serta 57 buah anting-anting besar yang terbuat dari emas.
-Pada kain payung, tampak di hiasi dengan 2 susunan lilitan rantai emas, sebagai tanda kesatuan persaudaraan antara kerajaan Bone dan kerajaan Pariaman.

2. SEMBANGENG PULAWENG (Selempang emas)

Merupakan pusaka kerajaan Bone pada masa Raja Bone yang ke-15 La Tenritatta Arung Palakka. Pusaka ini dipersembahkan kepada pemerintah kerajaan Bone sebagai penghargaan atas keberhasilan kerajaan Bone membangun kerja sama dengan raja Pariaman.

Pusaka ini kemudian menjadi perlengkapan resmi dalam upacara pelantikan dan penobatan raja-raja Bone. Adapun susunan dan bentuknya adalah sebagai berikut :
-Terbuat dari emas berbentuk rantai-rantai yang berbentuk rantai-rantai yang berukuran besar dengan jumlah 63 potongan, panjang 1,77 meter mencapai 5 kg.
-Pada ujungnya tergantung 2 buah medali emas bertuliskan bahasa Belanda sebagai tanda penghormatan kerajaan belanda kepada Arung Palakka raja Bone ke-15.

3. LATEA RIDUNI (Kalewang)

Sebuah kalewang yang hulunya berlapis emas dan dihiasai intan permata. Pusaka ini merupakan pusaka Raja Bone ke-15 La Tenritatta Arung Palakka.

Pusaka selalu dikebumikan bersama raja yang mengkat, namun setiap kali itupun memunculkan diri di atas makam yang diliputi cahaya terang benderang. Sehingga atas kejadian itu, maka pusaka ini disebut Latea Riduni (yang tak untuk dikebumikan).

Pusaka ini kemudian disimpan dan mendapatkan pemeliharaan, serta dipergunakan sebagai perlengkapan resmi dalam upacara pelantikan dan pengangkatan raja-raja Bone.

4. LASALAGA (Tombak)

Merupakan sebuah tombak yang pada pegangan dekat mata tombak dihiasi emas. Tombak ini merupakan simbol kehadiran Raja Bone.
Tombak tersebut diberikan nama LASALAGA dikarenakan pada saat perang raja-raja terdahulu sering menggunakan tombak ini dengan mempunyai kelebihan bahwa pada saat dilepaskan oleh pemiliknya tombak tersebut akan mencari sasaranya sendiri.

5. ALAMENG TATARAPENG (Senjata adat tujuh atau Ade’ Pitu)

Pusaka kerajaan ini adalah sejenis kalewang yang hulu serta sarungnya berlapis emas, dan merupakan kelengkapan pakaian kebesaran anggota Ade’pitu.

Selain itu adapula perlengkapan-perlengkapan yang dipakai oleh Bissu. Bissu adalah sebutan bagi pemimpin agama bugis kuno yang di percaya oleh para raja untuk melaksanakan upacara-upacara keagamaan demi memuji sang pencipta.

Bissu merupakan sosok manusia tanpa kelamin yang jelas (waria) namun dalam hal ini tidak semua waria bisa dapat diangkat menjadi bissu dikarenakan calon bissu yang akan diangkat haruslah di Bayyat atau sumpah agar tidak lagi mementingkan urusan duniawinya lagi. Maka dari itulah yang dipercayai untuk membersihkan benda-benda pusaka adalah Bissu.

Perlengkapan para bissu dalam melakukan prosesi tarian sakral yang dinamakan tarian SERE BISSU dalam mengiringi prosesi mattompang arajang, mulai dari awal mattompang hingga akhir prosesi mattompang arajang adalah sebagai berikut :

1. Bessi Banranga, yang terdiri atas sarung yang terbuat dari kayu, mata besi yang terbuat dari besi, tanda (poko pasorong) terbuat dari rambut manusia atau rambut ekor kuda.

2. Teddung Baburu (Payung Baburu), yang terdiri atas payung daun yang telah disambung rangkaian dengan bambu, kain sutra yang berwarna kuning atau orange sebagai sampul dari daun payung tersebut yang pinggirannya diberi hiasan renda-renda, dan tangkai payung yang terbuat dari bambu.

3. Tiang Bendera Arajang, yang terbuat dari kayu atau bambu yang dibungkus dengan kain berwarna kuning, merah, putih, dan hitam.

4. Lellu (Tandu), yang terdiri atas kain sutera yang berhiaskan sulaman benang emas yang berfungsi sebagai tenda dan tangkai tandu (ajelellu) yang terbuat dari kayu atau bambu.

5. Alameng, yang terdiri atas hulu yang terbuat dari kayu ditata dengan emas dan perak, mata yang terbuat dari besi, dan sarung yang terbuat dari kayu yang pada bagian dan tengahnya dibalut dengan perak atau emas sebagai pengikat.

6. Alusu (Anyam-anyaman bambu), yang terdiri atas kepala yang terbuat dari kayu, badan yang terbuat dari bambu yang dibalut dengan anyaman daun lontar yang berbentuk kotak kecil (persegi empat), dan ekor yag terbuat dari anyaman daun lontar.

7. Arumping (Anyam-anyaman kayu), yang terdiri atas kepala yang terbuat dari kayu, badan yang terbuat dari bambu yang dibungkus dengan kain berwarna merah atau putih, dan ekor yang terbuat dari pita yang disesuaikan dengan warna badan.

8. Tongkat Kayu, yang terdiri atas ujung kepala yang terbuat dari kain, kepala terbuat dari kain, bagian kepala yang terbuat dari kayu, bagian leher terbuat dari kain yang berbentuk pita, dan badan yang terbuat dari kayu yang bersegi delapan dan dibungkus dengan kain.

9. Oiye, yang berupa rangka yang terbuat dari irisan bambu dan dibungkus dengan anyaman daun lontar berwarna-warni.

10. Lae-lae (Lea-Lea), yang terbuat dari bambu yang terbagi dua bagian, yaitu bagian badan dan bagian daun yang terbelah.

11. Kancing, yang terbuat dari dua buah logam yang berbentuk piring dan diberi tali pengikat.

12. Ana’ Baccing, yang terbuat dari dua batang logam dan diberi tali pengikat.

13. Gendang, yang terdiri atas dua bagian yaitu bagian badan gendang yang terbuat dari kayu dan bagian atas dan bawah gendang yang ditutupi kulit kambing sebagai penutup. Dua bagian itu boleh ditabuh untuk mendapatkan fungsi gendang.

14. Pui-Pui, yaitu alat tiup yang terbuat dari pipa besi pendek yang pada bagian kepalanya terdapat semacam klep yang terbuat dari daun lontar yang jika ditiup menimbulkan getaran suara.

15. Gong, terbuat dari logam yang berbentuk bulat yang pada bagian tengahnya menonjol sebagai tempat jatuhnya pemukul.

II. PROSESI MATTOMPANG ARAJANG

Adapun prosesi-prosesi atau tahapan dalam kegiatan Mattompang Arajang akan diuraikan sebagai berikut :

1. MALEKKE TOJA (Memindahkan atau mengambil air)
Proses ini dilaksanakan beberapa hari sebelum kegiatan Mattompang Arajang  dilakukan. Kegiatan ini dilakukan dibeberapa tempat yaitu : di Bubung Parani, Bubung Bissu, keduanya berada di wilaya Kecamatan Barebbo yang disebut oleh para nenek moyang terdahulu berada di Saliweng Benteng (di luar dari benteng), dan Bubung Laccokkong yang ada di Kelurahan Watampone Kecamatan Tanete Riattang atau dalam bahasa terdahulu berada di Laleng Benteng (di dalam benteng).

Prosesi ritual adat pengambilan dilakukan dengan perjalanan menuju mata air suci. Saat ini pengambilan air suci hanya di satu tempat mata air saja yaitu di Bubung Lacokkong. Hal ini dikarenakan keterbatasan tenaga dan waktu yang memungkinkan hanya mengambil di satu tempat saja.

Sepanjang perjalanan, pembacaan doa-doa dengan bahasa Torilangi terus terucap dan bunyi-bunyian dari alat seperti ana baccing, kancing, gendang dan lain-lain terus dibunyikan seraya mengusir ruh-ruh jahat yang dapat mengganggu prosesi ritual pengambilan air suci.

Prosesi awal dalam pengambilan air dilakukan dengan doa dalam bahasa bugis (pembacaan mantera dengan bahasa torilangi). Prosesi dilakukan pada pukul 6.00 pagi di Museum Arajangnge Bone.

Toja (air) ini dimaksudkan untuk digunakan membersihkan benda-benda pusaka atau arajang, setelah dilakukan pengambilan air dari beberapa sumur tersebut maka air dibawa kedalam tempat benda-benda pusaka dan didiamkan.

2. MAPPAOTA
Pemangku adat mempersembahkan daun sirih yang diletakkan dalam sebuah cawan kepada Bupati Bone sebagai laporan bahwa upacara adat segera dimulai. Selanjutnya diiringi oleh para bissu ke tempat arajang.

Dalam prosesi ritual ini, Ota (daun sirih) diletakkan di depan pintu ruangan tempat arajang disimpan, dengan maksud memohon izin kepada dewa selaku leluhur terdahulu dan sebagai pemberitahuan bahwa arajang akan diambil dan dibersihkan.

3. MEMMANG TO RILANGI
Kata-kata yang diucapkan oleh bissu yang berisi permohonan izin untuk membersihkan arajang.

Proses ini diawali dengan iringan seperangkat bunyi-bunyian dari tempatnya dan diiringi dengan tarian yang disebut SERE ALUSU oleh para bissu. Secara religius para bissu lah yang menggerakkan dan memindahkan arajang atas persetujuan raja, karena mereka dianggap mengetahui serta mampu berhubungan dengan gaib yang menyertai arajang tersebut.

Kemudian arajang diserahkan kepada tokoh adat, kemudian dibawa kehadapan Bupati Bone untuk dikeluarkan dari sarungnya dan diletakkan kembali tanpa sarung.

4. MATTOMPANG ARAJANG
Setelah arajang diambil dari tempat pinyimpanannya dan telah mendapatkan restu dari leluhur maka ketua adat yang diwakili Puang lolo (wakil ketua adat) mengarak pusaka kerajaan yang ingin dibersihkan kepada Pattompang untuk disucikan atau ditompang yang diiringi gendrang BALI SUMANGE serta Sere Bissu yang dilakukan oleh para bissu dengan mengelilingi para pattompang dan arajang yang dibersihkan.

Pada prosesi Mattompang Arajang oleh para bissu menggabungkan kelima gerakan sere, salah satunya gerakan sere terakhir yaitu Sere Maddampu Alameng/maggiri atau mencabut senjata.

Bissu berada pada keadaan antara sadar dan tidak sadar, bissu melakukan gerakan menusuk-nusuk diri dengan benda tajam sementara para bissu yang lainnya melakukan sere sambil bergerak mengelilingi hingga prosesi tersebut selesai.

Setelah tanda isyarat selesai dikeluarkan oleh para pattompang maka ketua adat atau ammatoa mengambil kembali arajang untuk dikembalikan di tempat penyimpanannya yang diwakili oleh puang lolo (wakil ketua adat).

Prosesi selanjutnya yang dilakukan oleh para bissu disebut Mappatinro Arajang (menidurkan nilai spiritual benda pusaka), kemudian bissu kembali membacakan mantra-mantra yang disebut Mamemmeng.

Adapun makna-makna yang ditimbulkan dari tarian sere bissu yang dilakukan oleh para penari bissu dalam prosesi acara mattompang arajang, mulai dari prosesi mattompang pertama hingga berakhirnya prosesi mattompang yaitu sebagai berikut:

1. Sere alusu : menggunakan Alusu (anyaman dari daun lontar) menyimbolkan tutur kata yang baik, sesama manusia tidak memandang strata sosial. Merujuk pada hal-hal yang halus/lembut.

2. Sere bibbi : gerakan Tangan yang meyimbolkan akan menyadari kesalahan dan kekurangan diri sendiri sebelum melihat kekurangan orang lain. Merujuk pada gerakan mencubit diri sendiri.

3. Sere mangko : gerakan Tangan, menyimbolkan merangkul dan menyatukan sesama masyarakat. Merujuk kepada gerakan yang menampung.

4. Sere lemma : gerakan Tangan menyimbolkan berperilaku sopan dan santun terhadap sesama, tidak memandang status. Merujuk kepada gerakan yang pelan.

5. Sere maddampu alameng/maggiri dengan Tappi  : yaitu menggunakan senjata untuk kebaikan dan menolak hal-hal buruk.Merujuk pada senjata yang dipergunakan dalam hal-hal baik.

Dari 5 hal di atas hanya ada satu hal yang berkaitan dengan senjata tajam secara khusus, yaitu Sere Madampu Alemeng. Hal ini disesuaikan dengan maksud dari tujuan bahwa kehidupan sosial bermasyarakat sangat penting memahami sendi-sendi sosial tanpa mengurangi rasa hormat sesama manusia yang diciptakan oleh sang pencipta, selain itu rasa saling menjaga kerukunan dan kesatuan.

Dari beberapa simbol pada acara mattompang, maka makna-makna yang tersirat di dalamnya, yaitu :

1. Makna silaturahmi dan persatuan.
Dilihat pada prosesi acara mattompang yang dilakukan pada setiap tahunnya bertepatan saat hari jadi Bone. Pejabat atau Bupati Bone memanggil dan mengundang para turunan-turunan raja atau pejabat baik yang berada di luar daerah, masyarakat Bone serta unsur-unsur yang masih berkaitan dengan masyarakat terdahulu.

2. Makna membersihkan atau menyucikan.
Pada prosesi mattompang arajang sekali dalam setahunnya setiap benda-benda yang pernah digunakan oleh para raja atau pejabat disucikan begitu pula para raja-raja beserta masyarakat agar tetap berfikir jernih dan tetap menjaga hal-hal yang disucikan. Terutama kepada pejabat dalam hal ini Bupati Bone agar tetap berfikir sehat dalam mengambil segala keputusan demi kepentingan masyarakat dan warganya demi mewujudkan cita-cita nenek moyang.

3. Makna magis/spiritual.
Dalam prosesi adat mattompang terdapat hal-hal yang tidak bisa diterima oleh akal sehat atau logika manusia biasa dikarenakan adanya mantra-mantra yang diucapkan dan mempercayai yang gaib, semua itu diartikan bahwa manusia di muka bumi ini diciptakan oleh hal yang gaib yaitu Allah yang berhak dan wajib disembahnya.

4. Makna kelestarian budaya.
Prosesi adat mattompang tidak terlepas pada pendahulu-pendahulu masyarakat Bone yang telah mewariskan anak cucu mereka dengan budaya yang menandakan perjuangan, pengabdian serta rasa kasih sayang sesama. Maka dari itu diadakanlah acara tersebut.

Ada beberapa hal yang ingin dicapai melalui Mattompang Arajang ini, yaitu sebagai berikut :
1. Mempercayai tuhan yang suci dan berprilaku baik.
2. Saling menghargai sesama manusia dalam hidup bermasyarakat.
3. Pemimpin masyarakat atau pemerintah haruslah berfikir jernih demi warganya.
4. Membangun rasa solidaritas.

Jika disimpulkan, bahwa makna ritual Mattompang Arajang dapat diungkapkan hal-hal berikut, yaitu :
1. Pelaksanaan Mattompang Arajang berlandaskan pada kebiasaaan-kebiasaan raja terdahulu yang ada di Kabupaten Bone. Kebiasaan tersebut meliputi hal-hal yang suci yang disukai oleh para raja serta selalu menghargai benda-benda pusaka yang telah digunakan oleh para raja. Tata cara pelaksanaanya dilakukan berdasarkan adat istiadat yang telah diwariskan oleh nenek moyang secara turun temurun.
2. Makna yang terkandung dalam ritual Mattompang Arajang adalah bentuk saling menghargai satu sama lain dalam hidup bermasyarakat dan tetap menjaga sopan santun serta etika dalam bermasyarakat, membersihkan diri dan tidak memandang rendah sesama mahluk hidup ciptaan Tuhan. Tidak melaksanakan ritual ini dianggap suatu tanda tidak menghargai raja-raja terdahulu dan tidak mensyukuri nikmat tuhan.

Demikianlah makna-makna yang terkandung dalam prosesi Mattompang Arajang yang dilakukan oleh masyarakat Bone.

Sumber : Teluk Bone

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *